top of page

Gunung Lawu, a Shocking 3265 masl

Mungkin Gunung Lawu tidak sefamiliar temannya, Merbabu, namun jangan salah, gunung yang terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Timur ini sangatlah terkenal dikalangan pendaki. Selain keindahannya, gunung ini juga sangat terkenal akan cerita mistisnya!

Saya berkesempatan untuk mendaki gunung ini pada tanggal 15 Juli 2019 lalu, bersama kedua teman saya yaitu Dimas dan Rifki. Mereka pergi dari Depok menggunakan bus dengan jurusan Karanganyar dan turun di Karangpandan. Sementara itu, saya berangkat dari Jogja. Saya ke Gunung Lawu menggunakan transportasi umum yaitu bus, dengan rincian, bus jurusan Jogja - Surabaya dan turun di Terminal Tirtonadi Solo, lalu saya lanjut menggunakan minibus jurusan Karanganyar dan turun di Terminal Karangpandan. Setelah itu saya melanjutkan dengan angkot dengan jurusan Pasar Kemuning, lalu saya naik ojek hingga Basecamp Candi Cetho.

Basecamp Candi Cetho

(Foto kami bertiga: Dimas, Saya, dan Rifki di bawah pintu masuk basecamp)

Basecamp ini terletak persis di bawah Situs Candi Cetho. Terdapat beberapa rumah warga yang dijadikan basecamp tempat pendaki beristirahat. Kami bertemu di basecamp dan langsung memulai pendakian setelah sarapan Soto Ayam di warung dekat basecamp.

Kami pergi pukul 9 pagi dan langsung menaiki anak tangga untuk ke tempat registrasi. Peraturan di basecamp ini tidak terlalu ketat seperti Gunung Sumbing (Sudah saya post tentang Gunung Sumbing via Garung), setelah registrasi pun kami hanya dibriefing sebentar, dan kami pun melanjutkan pendakian.

Jarak dari basecamp ke Pos 1 masih terbilang cukup landai dengan pemandangan masih kebun warga sekitar. Setelah berjalan tak begitu lama, kami bertemu dengan Candi Kethek. Kami pun tidak istirahat begitu lama, langsung saja melanjutkan perjalanan.

(Berfoto di depan Candi Kethek)

Waktu tempuh dari Basecamp ke Pos 1 sekitar 1,5 jam. Karena baru permulaan, dirasa tubuh kami belum menyesuaikan, jadi waktu tempuhnya lama.

POS 1 (Mbah Branti)

Di Pos 1 terdapat shelter di sebelah kiri, shelternya cukup untuk 3 - 4 orang pendaki. Tidak jauh dari shelter terdapat tanah yang cukup lapang, muat untuk 1 - 2 tenda yang digunakan sebagai camp area. Sekitaran Pos 1 masih berupa perkebunan warga, ketika mulai memasuki pertengahan jalan ke Pos 2, mulailah jalannya tertutup oleh hutan. Jalan yang dilalui mulai agak curam dengan tanah yang agak basah.

Dengan vegetasi yang cukup padat dan menutupi sekeliling jalan, sesekali kami mendengar suara dari semak - semak. Awalnya kami pikir suara itu berasal dari seekor kera yang mengikuti, namun semakin lama kami justru berfikir kalau itu suara harimau, tanpa pikir panjang, kami langsung pergi dengan terburu - buru!

POS 2 (Brakseng)

Sampailah di Pos 2 yang berupa tanah lapang dengan 1 shelter di sebelah kanan jalur pendakian. Dari Pos 1 ke Pos 2 memakan waktu sekitar 50 menit dengan jalan yang mirip dengan jalur dari basecamp ke Pos 1 yaitu landai relatif miring. Di Pos 2 ini terkenal sekali akan pohon besarnya yang mengelilingi area Pos 2, salah satunya pohon besar yang dililit kain. Tempatnya yang luas, Pos 2 mampu menampung skitar 4 - 5 tenda.

Sebaiknya beristirahatlah yang cukup di Pos 2 karena perjalanan ke Pos 3 jalan yang dilalui sudah mulai menanjak dengan kemiringan sekitar 30 - 40 derajat. Kenampakan jalur masih sama seperti perjalanan dari Pos 2 yaitu hutan tertutup. Dengan perjalanan sekitar 50 menit, tibalah kami di Pos 3.

POS 3 (Cemorodowo)

(Dimas di jalur pendakian menuju pos 4)

Pos 3 merupakan lahan berundak dengan shelter kecil serupa dengan shelter di Pos 2. Di Pos 3 ini disarankan untuk mengisi kembali perbekalan air, karena di sini terdapat sumber air terakhir, ya walaupun di Gupakan Mejangan nanti terdapat kubangan air, namun pada musim kemarau kubangan tersebut seringkali kering.

Di Pos 3 ini kami bertemu banyak pendaki yang turun karena hari sudah mulai siang. Saat istirahat, kami bertemu solo hiker yang berasal dari Bekasi. Awalnya ia ingin bermalam selama 4 hari namun di malam ke 2, semua pendaki turun dan ia pun takut jika bermalam seorang diri. Setelah berdiskusi sedikit dengan kami, ia pun akhirnya memutuskan untuk lanjut turun.

Sayang sekali, kami pikir kami akan menambah teman pendakian baru. Hehe.

POS 4 (Penggik)

(Dimas dan Rifki di jalur menuju Pos 5)

(Dimas di jalur menuju Pos 5)

Melanjuti perjalanan, tibalah kami di Pos 4. Jalan yang kami tempuh untuk mencapai Pos ini sangat menguras tenaga dikarenakan jalannya mulai terjal. Vegetasi yang berupa hutan hujan lebat perlahan berganti menjadi hutan terbuka sehingga kami dapat melihat jurang dan puncak - puncak bukit dengan jelas. Waktu yang kami tempuh dari Pos 3 ke Pos 4 sekitar 1 jam.

Di Pos 4 terdapat shelter yang cukup untuk beristirahat. Kami pun mengisi tenaga kami dengan makan siang. Makan siang kami berupa nasi bungkus yang kami pesan di basecamp. Makan siang sederhana yang berupa nasi, tempe, mie goreng, telur, dan sambal terasa sangat nikmat mengingat betapa lelahnya kami. Setelah itu kami sholat sebelum melanjutkan perjalanan.

Pos 5 (Bulak Peperangan)

(Ketika matahari tenggelam dan bulan purnama terlihat jelas dari Pos 5)

(Sabana di Pos 5)

(Sabana di Pos 5)

Perjalanan dari Pos 4 ke Pos 5 ini dirasa sangat jauh dan melelahkan meskipun banyak terdapat bonus (jalan landai). Vegetasi hutan dengan pohon besar pun digantikan dengan pohon kecil dengan semak - semak berbunga yang sangat indah.

Dipenghujung jalur ke Pos 5, jalanan mulai menanjak lagi yang setelah itu tibalah di sabana yang sangat indah. Kebetulan saat itu matahari mulai tenggelam. Kami pun sangat menikmati moment itu.

Tibalah di Pos 5 setelah 1 jam perjalanan. Pos 5 merupakan tanah lapang di bawah pohon dan dikelilingi semak, cukup untuk menampung banyak tenda. Kondisi Pos 5 cukup terbuka karena tepat berada di pinggir sabana. Kami beristirahat sejenak karena hari mulai gelap. Bulan purnama pun mulai menampakkan dirinya. Sangat indah!!

Gupakan Mejangan

Untuk ke Gupakan Mejangan, dari Pos 5 jaraknya cukup dekat yaitu satu bukit, namun dengan jalan menanjak. Saat itu hari sudah malam sehingga sedikit menyulitkan pendakian (terutama saya dengan rabunnya, hehe).

Gupakan Mejangan merupakan lahan luas dengan pohon cemara yang cukup padat. Tempat ini ideal sekali untuk dijadikan tempat bermalam. Awalnya kami kesulitan untuk mengetahui apakah ini benar Gupakan Mejangan atau bukan dikarenakan minimnya pencahayaan dan tidak ada tanda - tanda seperti shelter. Namun akhirnya kami berhasil menemukan papan nama yang dipaku ke batang pohon. Bayangkan jika kita tidak menemukan papan nama itu!!

Kami mendirikan tenda di Gupakan Mejangan. Sendirian, hanya kami bertiga, tanpa ada pendaki lain. Angin mulai bertiup kencang dan gesekan antara angin dengan semak semak di savana membuat suara seperti gemuruh ombak.

Kami pun berberes setelah itu memasak. Kali ini menu kami adalah nugget, capcay, dan nasi. Namun belum sempat kami memakannya, dua teman saya sudah tumbang terlebih dahulu. Saya pun memutuskan untuk beristirahat.

(Saya berdiri di Gupakan yang kering)

(Dimas dan Rifki di Sabana sekitar Gupakan Mejangan)

Bermalam di Gupakan Mejangan

Banyak sekali pengalaman seru yang saya dapat selama 3 jam pertama. Kala itu bulan purnama dan angin bertiup sangat kencang, saya pun merasa jika ada senter yang ditujukan pada tenda kami yang bergoyang. Terbentuk bayangan seperti banyak orang di sekeliling tenda kami, saya pun bangun dan mengecek sekitar, bermaksud untuk menyapa dan melihat bintang (hal yang harus saya lakukan ketika mendaki gunung) yang awalnya saya kira pendaki lain telah tiba. Namun saya hanya menemukan pohon cemara yang terus bergesekan.

Saya tidak ambil pusing dan langsung kembali beristirahat.

Sunrise

Kami bangun sekitar jam 3 pagi untuk melakukan pendakian ke puncak. Awalnya kami ingin melihat sunrise di puncak, namun kami terlalu lelah. Alih - alih berangkat ke puncak, kami justru menghangatkan makanan dan sarapan!

Setelah subuh, kami pun memulai perjalanan ke puncak dengan meninggalkan tenda dan hanya membawa perbekalan seperlunya saja.

Sepanjang perjalanan ke puncak, kami ditemani sabana yang sangat indah dengan matahari yang perlahan menampakan dirinya, memancarkan semburat jingga yang memanjakan mata. Mashaallah.

(Sunrise ketika menuju Puncak)

(Sunrise ketika menuju Puncak)

Pasar Dieng

Pasar Dieng merupakan bukit berbatu yang dipenuhi tanaman cantigi dan edelweiss. Di sini sangat tidak disarankan untuk melanjutkan perjalanan ketika cuaca berkabut ataupun mendirikan tenda. Karena tidak adanya petunjuk jalur yang jelas dan tidak adanya pohon. Perjalanan ke Pasar Dieng dari Gupakan Mejangan memakan waktu sekitar 40 menit.

Hargo Dalem

Hargo Dalem sangat mudah untuk diketahui karena berupa pepondokan berbentuk rumah. Dari cerita yang berkembang, Hargo Dalem merupakan pondok dimana orang - orang melakukan ritual. Hargo Dalem juga merupakan salah satu puncak di Gunung Lawu. Waktu tempuh dari Pasar Dieng ke Hargo Dalem sekitar 15 menit dengan jalan yang curam.

Di Hargo Dalem juga terdapat beberapa warung, salah satunya Warung Mbok Yem yang sangat terkenal. Disini juga banyak pendaki yang bermalam karena tempat bertemunya tiga jalur pendakian Gunung Lawu yaitu Candi Cetho, Cemoro Kandang, dan Cemoro Sewu.

(Tanjakan terjal di Hargo Dalem)

Hargo Dumilah (Puncak)

Dari Hargo Dalem, hanya melewati satu bukit yang curam untuk mencapai puncak. Lucunya, kami seperti 'dituntun' oleh seekor burung hingga akhirnya mencapai puncak.

(Saya, Dimas, dan Rifki di monumen puncak Gunung Lawu 3265 mdpl)

Warung Mbok Yem

(Nasi Pecel Mbok Yem, sang legendaris Gunung Lawu)

Setelah mengeksplor puncak, kami menuruni bukit dan tiba di Hargo Dalem. Tepat sekali dengan waktu sarapan (walaupun subuh tadi kami sudah sarapan). Saatnya menikmati nasi pecel yang sangat legendaris ini!

Pulang

(Ketika di sabana menuju Gupakan Mejangan)

(Di sekitar Pasar Dieng)

(Di sabana sekitar Gupakan Mejangan)

Setelah satu piring nasi pecel habis, kami memutuskan untuk langsung turun. Kami sangat puas sekali mengekslpor sabana karena saat itu hanya kami bertiga yang berangkat dari Gupakan Mejangan hingga puncak. Hanya bertemu beberapa pendaki di puncak dan Hargo Dalem, sehingga kami sangat menikmati moment ini.

Setelah puas berfoto, menyayangi gupakan yang kering, dan memanggil rusa (yang tidak kunjung datang) kami pun langsung packing dan bersiap untuk turun.

Saat turun, kami bertemu pendaki lain (yang jumlahnya 7 orang) bermalam di Pos 5, jadi tadi malam kami benar benar sendiri!!! Sungguh pengalaman yang aneh dan berbeda.

Kami pun turun dengan cepat mengingat kereta kami dari Solo dan berangakat pukul 19.00 malam.

Setelah perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, kami akhirnya sampai di basecamp dan Pakde Toyo dengan senyumnya yang sumringah menyambut kami. Sebelumnya, kami telah menghubungi Pakde Toyo untuk mengantar kami dari Candi Cetho ke Stasiun Solo Balapan. Setelah kami berbenah dan istirahat sebentar, kami pun melanjutkan perjalanan ke Solo.

Selama perjalanan, kami menceritakan semua yang kami alami kepada Pakde Toyo, ia pun tidak kaget, karena hari itu merupakan malam selasa bulan purnama selain itu kami melakukan pendakian dengan jumlah ganjil yaitu bertiga.

Sungguh pengalaman yang aneh dan berbeda, seperti saya ungkapkan tadi.

Namun setelah semua itu, pengalaman aneh, lelah, dan menghasilkan beberapa luka di tubuh (bagi saya). Pengalaman mendaki Gunung Lawu sangat tidak ada tandingannya!!

Rincian Biaya Perjalanan :

Bus Jogja - Surabaya : Rp15.000

Bus Solo - Karangpandan : Rp10.000

Angkot Karangpandan - Kemuning : Rp8.000

Ojek Kemuning - Candi Cetho : Rp.30.000

Soto Ayam : Rp25.000

Nasi bungkus : Rp25.000

Nasi Mbok Yem : Rp25.000

Simaksi : Rp15.000

Pakde Toyo antar jemput : Rp300.000 (per sekali carter)

Kereta Solo - Jakarta : Rp300.000

Recent Posts

Follow Us

  • Black Facebook Icon
  • Black Twitter Icon
  • Black LinkedIn Icon
  • Black Instagram Icon
  • Black YouTube Icon
bottom of page